Sekilas Sejarah

Yayasan Miniatur Madinah Al-Amien, yang mengelola pondok pesantren dan sekolah Miniatur Madinah berbasis alam, sejatinya merupakan gambaran dari perjalanan hidup pendirinya, Ustad Amin Suradilaga. Kehidupan beliau dipenuhi perjuangan, di mana pendidikannya tidak pernah selesai karena keterbatasan ekonomi.

Selepas lulus SD, Ustad Amin merantau ke Semarang. Di sana, ia aktif di masjid dan mengikuti pendidikan nonformal. Berkat bantuan seorang dermawan, beliau dapat melanjutkan pendidikan di Pesantren Pabelan Magelang. Namun, keterbatasan ekonomi membuatnya tidak dapat menyelesaikan pendidikan karena harus bertahan hidup dengan bekerja sebagai penjahit dan mengajar mengaji anak-anak serta ibu-ibu di Mungkid.

Perjalanan kemudian membawanya ke Jakarta, di mana ia bergabung dengan para ustaz dan belajar agama di lembaga pendidikan berbasis pelatihan. Di sana, beliau mulai mengisi khutbah Jumat, membuka majelis taklim, dan mengajar anak-anak Karang Taruna serta loper koran mengaji. Aktivitas ini dilakukannya di sebuah rumah di mess perwira Zeni, Srengseng Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Kisah awal beliau mengajar ngaji memiliki cerita tersendiri. Suatu pagi, Ustad Amin membersihkan selokan yang tersumbat di sekitar mess. Hal ini menarik perhatian salah satu istri perwira yang bertanya kepadanya. Setelah mengetahui bahwa Ustad Amin adalah lulusan pesantren, ia diminta tinggal di mess untuk mengajar anak-anak Karang Taruna mengaji. Seiring waktu, para tentara juga meminta diajarkan mengaji. Bahkan, sebuah barak dijadikan mushala, dan Ustad Amin mulai merawat anak-anak telantar yang ditemuinya.

Pada tahun 1990, karena kebijakan Pangdam yang melarang mess digunakan untuk penampungan anak telantar, beliau mencari tempat lain. Dalam prosesnya, beliau berdoa di bawah sebuah pohon di Lenteng Agung memohon pertolongan Allah. Tak lama kemudian, seorang kenalan memperkenalkan beliau pada sebidang tanah di Bojonggede. Meski tidak memiliki uang, Ustad Amin tetap disarankan untuk mendoakan tanah tersebut. Setelah berpamitan kepada tetangga di mess, ia berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp5 juta untuk membayar uang muka tanah seluas 3.000 meter persegi.

Dengan tekad yang kuat, Ustad Amin membangun bedeng sederhana untuk anak-anak asuhnya. Selama tujuh tahun pertama, mereka belajar, shalat berjamaah, dan menjalani kehidupan di alam terbuka. Barulah kemudian masjid mulai dibangun, atas wakaf dari seorang dermawan bernama Irianto. Masjid tersebut berdiri tepat di depan pohon tempat beliau dulu berdoa dan menangis, sebuah tanda kebesaran Allah.

Nama “Al-Amien” diberikan oleh Jenderal Wiranto pada tahun 1998 atau 1999. Nama ini merujuk pada gelar Rasulullah SAW yang berarti “terpercaya,” yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang diusung oleh pesantren ini.

Kini, Yayasan Miniatur Madinah Al-Amien telah berkembang pesat dengan fasilitas yang meliputi masjid berkapasitas 500 jamaah, gedung sekolah dengan 14 ruang kelas, asrama putra dan putri, laboratorium komputer, dapur umum, sarana MCK, lapangan olahraga, koperasi santri, lahan pertanian, peternakan, kolam perikanan, dan fasilitas outbound. Dengan dukungan sekitar 43 ustaz dan ustazah, Sekolah Al-Amien dan Pesantren ini kini membina sekitar 200 santri putra dan putri.

Semangat pengabdian dan keikhlasan yang ditanamkan oleh Ustad Amin Suradilaga terus menjadi fondasi bagi perkembangan Yayasan Al-Amien hingga saat ini.